Minggu, 10 April 2011

CONTOH PROPOSAL PTK SD

Edit Posted by with 2 comments
Contoh Proposal PTK


Tuesday, 25 December 2007
Berikut ini contoh sebuah proposal Penelitian Tindakan Kelas (PTK).
PROPOSAL
PENELITIAN TINDAKAN KELAS
( PTK )


UPAYA PENINGKATAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA
MELALUI TEHNIK PEMBERIAN TUGAS PEKERJAAN RUMAH
BAGI SISWA KELAS VI SEKOLAH DASAR NEGERI 1 SAMUDRA KULON



Disusun oleh :
NURSIDIK KURNIAWAN, A.Ma.Pd.SD




PROPOSAL
PENELITIAN TINDAKAN KELAS


I. JUDUL
UPAYA PENINGKATAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA MELALUI TEHNIK PEMBERIAN TUGAS PEKERJAAN RUMAH
BAGI SISWA KELAS V SEKOLAH DASAR NEGERI 1 SAMUDRA KULON

II. BIDANG KAJIAN
Pembelajaran Matematika dan Pemberian Pekerjaan Rumah.

III. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Pendidikan adalah investasi jangka panjang yang memperlukan usaha dan dana yang cukup besar, hal ini diakui oleh semua orang atau suatu bangsa demi kelangsungan masa depannya. Demikian halnya dengan Indonesia menaruh harapan besar terhadap pendidik dalam perkembangan masa depan bangsa ini, karena dari sanalah tunas muda harapan bangsa sebagai generasi penerus dibentuk.
Meski diakui bahwa pendidikan adalah investasi besar jangka panjang yang harus ditata, disiapkan dan diberikan sarana maupun prasarananya dalam arti modal material yang cukup besar, tetapi sampai saat ini Indonesia masih berkutat pada problemmatika ( permasalahan ) klasik dalam hal ini yaitu kualitas pendidikan. Problematika ini setelah dicoba untuk dicari akar permasalahannya adalah bagaikan sebuah mata rantai yang melingkar dan tidak tahu darimana mesti harus diawali.
Terkait dengan mutu pendidikan khususnya pendidikan pada jenjang Sekolah Dasar ( SD ) dan Madrasah Ibtidaiyah ( MI ) sampai saat ini masih jauh dan apa yang kita harapkan. Betapa kita masih ingat dengan hangat akan standarisasi Ujian Akhir Sekolah ( UAS ) dengan nilai masing – masing mata pelajaran 4,51 dikeluhkan oleh semua para pendidik bahkan oleh orang – orang tua siswa sendiri, karena anak atau siswanya tidak dapat lulus. Hal lucu yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Melihat kondisi rendahnya prestasi atau hasil belajar siswa tersebut beberapa upaya dilakukan salah satunya adalah pemberian tugas berupa kepada siswa. Dengan pemberian pekerjaan rumah kepada siswa diharapkan siswa dapat meningkatkan aktifitas belajarnya, sehingga terjadi pengulangan dan penguatan terhadap meteri yang diberikan di sekolah dengan harapan siswa mampu meningkatkan hasil belajar atau prestasi siswa.

IV. PERUMUSAN DAN PEMECAHAN MASALAH

1. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan sebagaimana tersebut didepan, maka rumusan permasalahan yang diajukan dalam proposal ini adalah :
Apakah melalui tehnik pemberian tugas pekerjaan rumah dapat meningkatkan prestasi belajar Matematika bagi siswa kelas VI Sekolah Dasar Negeri 1 Samudra Kulon ?

1. Pemecahan Masalah
Siswa yang mendapatkan perhatian dan perlakuan khusus tentunya akan menghasilkan atau menguasai yang berbeda pula dalam sebuah kelas atau kelompok bahkan perlakuan individual sekaligus dengan diberikanya perlakuan dan perhatian yang lebih baik dalam belajar di sekolah maupun di rumah, tentunya akan lebih baik pula penguasaan kertramilan atau konsep terhadap mata pelajaran – mata pelajaran yang dipelajarinya. Dengan pemberian PR secara rutin dan terorganisir dengan baik paling tidak akan mampu mengkondisikan dalam bentuk motifasi ekstinsik bagi siswa itu sendiri.
Moh. Uzer ( 1996:29) menjelaskan “Motivasi ekstrinsik timbul sebagai akibat pengaruh dari luar individu, apakah karena adanya ajakan, atau paksaan orang lain sehingga dengan kondisi yang demikian akhirnya ia mau melakukan sesuatu atau belajar, misalnya seseorang mau belajar karena ia disuruh orang tua untuk mendapatkan peringkat pertama.”
Demikian halnya dengan guru memberikan PR dengan harapan baik itu dirasa memaksa bagi siswa atau itu karena disuruh sebagai tugas dengan perasaan terpaksa, yang jelas mengkondisikan siswa harus belajar. Dengan pola demikian tentunya anak yang lebih banyak belajar dirumah akan lebih baik misalnya dalam mata pelajaran yang dikerjakan..
a. Hipotensis
Hipotensisi yang diajukan dalam proposal penelitian ini adalah :
“ Melalui tehnik pemberian tugas pekerjaan rumah dapat meningkatkan hasil belajar matematika bagi siswa kelas VI SDN 1 Samudra Kulon”

V. TUJUAN PENELITIAN

1. Tujuan Umum
Tujuan peneliti yang diharapkan dari penelitian ini menjadi masukan bagi guru dan siswa untuk meningkatkan belajar di rumah.
2. Tujuan Khusus
Adapaun tujuan khusus dari penelitian ini :
“Untuk mengetahui apakah melalui pemberian pekerjaan rumah dapat meningkatkan prestasi belajar matematika bagi siswa kelas VI SDN 1 Samudra Kulon.”

VI. MANFAAT HASIL PENELITIAN

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi :
a. SDN 1 Samudra Kulon
Dengan hasil penelitian ini diharapkan SD Negeri 1 Samudra Kulon dapat lebih meningkatkan pemberdayaan pemberian pekerjaan rumah agar prestasi belajar siswa lebih baik dan perlu dicoba untuk diterapkan pada pelajaran lain.
b. Guru
Sebagai bahan masukan guru dalam meningkatkan mutu pendidikan di kelasnya.
c. Siswa
Sebagai bahan masukan bagi siswa untuk memanfaatkan pekerjaan rumah dalam rangka meningkatkan prestasi belajarnya.

VII. KAJIAN PUSTAKA

1. Landasan Teori
1. Matematika
Istilah Matematika berasal dari bahasa Yunani “Mathematikos” secara ilmu pasti, atau “Mathesis” yang berarti ajaran, pengetahuan abstrak dan deduktif, dimana kesimpulan tidak ditarik berdasarkan pengalaman keindraan, tetapi atas kesimpulan yang ditarik dari kaidah – kaidah tertentu melalui deduksi (Ensiklopedia Indonesia).
Dalam Garis Besar Program Pembelajaran ( GBPP )terdapat istilah Matematika Sekolah yang dimaksudnya untuk memberi penekanan bahwa materi atau pokok bahasan yang terdapat dalam GBPP merupakan materi atau pokok bahasan yang diajarkan pada jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah (Direkdikdas : 1994 )
1. Belajar
Skinner berpandangan bahwa belajar adalah suatu perilaku. Pada saat orang belajar maka responya menjadi lebih baik dan sebaliknya bila tidak belajar responya menjadi menurun sedangkan menurut Gagne belajar adalah seperangkat proses kognitif yang mengubah sifat stimulasi limgkungan, melewati pengolahan informasi, menjadi kapasitas baru ( Dimyati, 2002-10). Sedangkan menurut kamus umum bahasa Indonesia belajar diartikan berusaha ( berlatih dsb )supaya mendapat suatu kepandaian ( Purwadarminta : 109 )
Belajar dalam penelitian ini diartikan segala usaha yang diberikan olh guru agar mendapat dan mampu menguasai apa yang telah diterimanya dalam hal ini adalah pelajaran Matematika.
1. Prestasi Belajar.
Prestasi belajar berasal dari kata “ prestasi “ dan “belajar’ prestasi berarti hasil yang telah dicapai (Depdikbud, 1995 : 787 ). Sedangkan pengertian belajar adalah berusaha memperoleh kepandaian atau lmu (Depdikbud, 1995 : 14 ). Jadi prestasi belajar adalah penguasaan pengetahuan atau ketrampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran, lazimnya ditunjukan dengan nilai atau angka yang diberikan oleh guru. Prestasi dalam penilitian yang dimaksudkan adalah nilai yang diperoleh oleh siswa pada mata pelajaran matematika dalam bentuk nilai berupa angka yang diberikan oleh guru kelasnya setelah melaksanakan tugas yang diberikan padanya
1. Teknik
Dalam umum bahasa Indonesia teknik diartikakan cara (kepandaian, dsb) membuat sesuatu atau melakukan sesuatu yang berkenaan dengan kesenian (purwadarminta,: 1035). Sedangkan teknik yang dimaksud disini adalah cara tertentu yang dilakukan oleh guru yang akan dikenakan kepada siswanya dalam rangka mendapatkan informasi atau laporan yang diinginkan.

1. Pekerjaan rumah
Pekerjaan rumah atau yang lazim disebut PR dalam bahasa Inggris “Homework “ yang artinya mengerjakan pekerjaan rumah. Dalam penilitian ini yang dimaksudkan dengan PR adalah sebuah tugas atau pekerjaan tertentu baik tertulis atau lisan yang harus dikerjakan diluar jam sekolah (terutama dirumah) berkaitan dengan pelajaran yang telah disampaikan guru untuk meningkatkan penguasaan konsep atau ketrampilan dan sekaligus memberikan pengembangan.

VIII. RENCANA DAN PROSEDUR PENELITIAN

1. Rencana Penelitian
1. Subjek penelitian
Subyek dalam peniltian ini adalah siswa kelas VI SD Negeri 1 Samudra Kulon kecamatan Gumelar, Kabupaten Banyumas jumlah siswa 38 orang.
Pertimbangan penulis mengambil subyek penilitiann tersebut dimana siswa kelas VI telah mampu dan memiliki kemandirian dalam mengerjakan tugas seperti PR, karena siswa kelas VI telah mampu membaca dan menulis serta berhitung yang cukup. Selain itu penulis pengajar di kelas VI.
2. Tempat Penelitian
Dalam penilitian ini penulis mengambil lokasi di SD Negeri 1 Samudra Kulon, kecamatan Gumelar Kabupaten Banyumas penulis mengambil lokasi atau tempat ini dengan pertimbangan bekerja pada sekolah tersebut, sehingga memudahkan dalam mencari data, peluang waktu yang luas dan subyek penlitian yang sangat sesuai dengan profesi penulis.
3. Waktu Penelitian
Dengan beberapa pertimbangan dan alasan penulis menentukan menggunakan waktu penelitian selama 3 bulan Agustus s.d Oktober. Waktu dari perencanaan sampai penulisan laporan hasil penelitian tersebut pada semester I Tahun pelajaran 2007/2008.
4. Lama Tidakan
Waktu untuk melaksanakan tindakan pada bulan Okteber, mulai dari siklus I, Siklus II dan Siklus III.

1. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian yang diterapkan dalam hal ini antara lain :
1. Perencanaan
Meliputi penyampaian materi pelajaran, latian soal, pembahasan latian soal, tugas pekerjaan rumah ( kegiatan penelitian utama ) pembahasan PR, ulangan harian.

2. Tindakan ( Action )/ Kegiatan, mencakup
a. Siklus I, meliputi : Pendahuluan, kegiatan pokok dan penutup.
b. Siklus II ( sama dengan I )
c. Siklus III ( sama dengan I dan II )
3. Refleksi, dimana perlu adanya pembahasan antara siklus – siklus tersebut untuk dapat menentukan kesimpulan atau hasil dari penelitian.

IX. JADWAL PENELITIAN

No KEGIATAN MINGGU KE……..
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 Perencanaan
2 Proses pembelajaran
3 Evaluasi
4 Pengumpulan Data
5 Analisis Data
6 Penyusunan Hasil
7 Pelaporan Hasil


X. BIAYA PENELITIAN
Akibat yang timbul dari penelitian ini menjadi tanggung jawab peneliti, adapun biaya tersebut adalah :
1. Fotocopy Naskah : Rp
2. Kerta folio 1 pack : Rp
3. jilid buku : Rp
4. Rental Komputer : Rp
5. lain – lain : Rp
JUMLAH : Rp

XI. PERSONALIA PENELITI
Penelitian ini melibatkan Tim peneliti, identitas dari Tim tersebut adalah :
1. Nama : NURSIDIK KURNIAWAN
NIM : 813846371
Pekerjaan : Guru Wiyata Bakti SDN 1 Samudra Kulon
Tugas dalam penelitian : Pengumpulan dan Analisis Data

Sumber: http://nhowitzer.multiply.com

Senin, 04 April 2011

Ritual Laku Lampah untuk Kemurahan Rejeki

Edit Posted by with No comments


Catatan ini saya ambil dari wawasan seni Majalah Gong Edisi: 119/XI/2010
Berisi tentang makna Filosofi Laku Lampah,sebuah ritual yang mengharuskan pelakunya berjalan sejauh 10 KM dengan penerangan obor.
Selamat Membaca...

Laku Lampah untuk Kemurahan Rejeki
Oleh: Fathorrahman Hasbul, Peneliti Sosial-Budaya, tinggal di Yogyakarta.

Perjalanan untuk menuju semangat toleransi dan sejenisnya dalam komunitas masyarakat sangatlah berbeda. Tradisi untuk mencapai hakikat persaudaraan sejati di setiap wilayah memiliki kekhasan masing-masing yang nuansa kearifannya tidak bisa dielakkan. Apalagi dalam membangun toleransi di tengah keberagaman keagamaan.

Namun, bagi masyarakat di desa Ngargosari, Samigaluh, Kulonprogo, Yogyakarta nuansa menciptakan semangat toleransi amatlah besar. Tradisi yang digunakan untuk mencapai puncak seragam dalam keberagamaan tersebut adalah tradisi Lampah Lantri. Sebuah tradisi khas masyarakat Ngargosari yang memiliki nilai-nilai lokal luar biasa.

Setidaknya, dalam tradisi tersebut dibutuhkan kekuatan jasmani dan rohani untuk melakukannya. Sebab bagi yang ingin menjalankan ritual ini seseorang harus berjalan kaki pada malam hari dengan menaiki gunung menuju puncak Suroloyo dengan jarak 10 km. Dalam perjalanan tersebut, seseorang harus menisbatkan hatinya pada Sang Pencipta hanya dengan bantuan sinar sebatang obor.

Ritual Lampah Lantri bagi masyarakat Ngargosari acapkali dilakukan setiap waktu, setiap masyarakat Ngargosari menemukan persoalan. Misi besar dari ritual Lampah Lantri adalah meminta pelindungan dan kemurahan rezeki pada Sang Pencipta. Sehingga tidak heran meski perjalanan tersebut amatlah berat karena harus mendaki ketinggian gunung, tetapi ritual itu tetap dilaksanakan sebagai simbol kehambaan yang melekat dalam naluri masyarakat Ngargosari.

Secara historis Lampah Lantri bermula sejak tempo doeloe. Dalam pengamatan yang dilakukan penulis selama tiga hari di desa Ngargosari dalam rangka Kemah Budaya antaragama 18-20 Desember 2009 yang dilaksanakan oleh Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) Yogyakarta, seorang juru kunci Suroloyo Ki Supriyatno mengatakan bahwa ritual Lampah Lantri berawal dari kegelisahan masyarakat Ngargosari pada masa penjajahan Belanda sekitar 1900-an yang selalu diperas keringatnya untuk bekerja. Berawal dari “kesengsaraan” itu kemudian adat Lampah Lantri lahir dan menjadi sebuah tradisi. Idealnya, Lampah Lantri lahir karena dilatar belakangi oleh persoalan sosio-psikologis masyarakat Ngargosari kala itu.

Terlepas dari jejak historis tersebut, ritual Lampah Lantri merupakan khazanah yang lahir tidak main-main, melainkan penuh dengan semangat pengembaraan dan iluminasi pencerahan menuju Sang Pencipta untuk bangkit dari kemelut ketertindasan. Dalam keterkaitan ini, Lampah Lantri telah melahirkan afirmasi bahwa masyarakat Ngargosari sebenarnya telah manganut paham teosentris (ketuhanan) yang dibangun sejak pra kemerdekaan.

Uniknya, tradisi tersebut tidak hanya bisa dilakukan oleh satu paham keagamaan an sich, namun bisa dilakukan oleh seluruh agama yang terdapat di desa Ngargosari. Para pengikut Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu-Budha dan sebagainya bersama-sama menuju puncak Suroloyo dalam rangka menyatukan tekad dan semangat kolektivitas dan ketuhanan dengan ikhtiar agar kehidupan mereka sejahtera dan damai. Alhasil, meski di Ngargosari terdapat perbedaan agama, tetapi disparitas kesenjangan, gap, dan sejenisnya nyaris tidak pernah tercipta.



Filosofi Ritual

Dalam pengamatan penulis, makna filosofis yang terdapat dalam ritual Lampah Lantri sangatlah besar. Pertama, dilakukan di waktu malam hari. Nuansa malam hari merupakan syarat dari ritual Lampah Lantri. Perjalanan di waktu malam bagi masyarakat Ngargosari sedikitnya akan memberikan makna berbeda dari pada siang hari. Malam hari akan melahirkan perenungan-sepanjang perjalanan-yang mendalam. Rasa sunyi akan menjadi modal bagi mereka yang melakukan ritual Lampah Lantri untuk merenung tentang hakikat kehidupan dan kematian. Dari aspek kematian misalkan, jamak di ketahui bahwa manusia semuanya akan mengalami kematian. Pada saat yang sama, manusia tidak mungkin bersama dan berteman dengan manusia lainnya. Dengan kata lain, kematian adalah kesendiraan dan kesunyian. Sehingga dengan ritual di malam hari tersebut, minimal masyarakat yang melakukan Lampah Lantri bisa terhipnotis untuk mengingat mati. Bila ini tercapai, maka masyarakat akan selalu berpikir tentang sikap hidup baik dan selalu mengedepankan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi.

Kedua, menyalakan obor. Sebelum menjajaki ketinggian gunung, masyarakat yang ingin melakukan ritual Lampah Lantri harus menyalakan obor dan berdoa sebelum berangkat menurut kepercayaan masing-masing. Bagi masyarakat Ngargosari menyalakan obor memiliki makna filosofi yang megandung arti menyalakan semangat, etos dan sejenisnya. Sebelum menuju puncak, mereka harus memiliki semangat untuk melangkah. Bahkan lebih dari pada itu, semangat untuk melangkah itu menjadi pijakan masyarakat Ngargosari untuk membangun semangat dalam hal apapun. Dengan dasar semangat semacam itu meski di Ngargosari mata pencaharian mayarakat tidak jelas dan tidak tetap, tetapi tidak sedikit dari mereka yang mempunyai kekayaan “lebih”. Di sini, plakat semangat telah merasuk ke dalam naluri masyarakat Ngargosari untuk terus berusaha dengan giat dan gigih.

Ketiga, mendaki gunung. Mengapa harus gunung? Menurut masyarakat Ngargosari, gunung adalah simbol kemanusiaan, kehidupan, dan perjuangan. Dalam struktur manusia misalkan, gunung juka memiliki kaki, tubuh dan puncak (kepala). Simbolisasi seperti ini telah menjadi pijakan masyarakat Ngargosari untuk melakukan riual Lampah Lantri. Makna gunung secara epistimologis bagi masyarakat Ngargosari merupakan cerminan bahwa setiap perjuangan harus dibangun dari bawah. Bahkan dalam konteks perjuangan, gunung adalah simbol dari perjalanan hidup yang tidak mudah. Di samping harus memulai dari bawah, perjuangan untuk mencapai kesuksesan dan keberhasilan tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, tetapi harus dilalui dengan jalan terjal dan berliku. Artinya, dalam menempuh sebuah cita-cita dan impian hidup jalur “berdarah-darah” harus tertanam.

Keempat, persemedian. Setelah melakukan perjalanan dan kemudian sampai di puncak Suroloyo, semua yang ikut ritual Lampah Lantri harus bersemedi. Bersemedi bukan dalam arti membaca mantra, namun, merenungkan segala ciptaan agung Sang Pencipta. Sebab, di puncak ketinggian gunung tersebut, semuanya akan terlihat termasuk keseluruhan Yogyakarta, Magelang, dan sebagian wilayah Semarang . Pada saat yang sama, segala ciptaan Tuhan yang lain seperti Langit, Bintang, Bulan dan semacamnya akan terlihat dengan bentang luas dan beragam. Di titik ini, para peserta Lapah Lantri dianjurkan untuk merenung tentang kekayaan ciptaan tersebut. Termasuk tentang posisi manusia itu sendiri. Pada wilayah inilah biasanya akan memunculkan “isak tangis” di antara para peserta. Sebab para peserta Lampah Lantri akan berpikir bahwa manusia ternyata tidak memiliki dedikasi dan kekuatan apa-apa. Manusia benar-benar berada pada posisi lemah, kecil, dan sangat terbatas. Sehingga, ritual perenungan tersebut mampu menepis aroganisme, egoisme, serta hidup congkak dan sombong.

Itulah makna filosofi Lampah Lantri di desa Ngargosari. Semangat teosentris yang diwujudkan dengan tradisi Lampah Lantri pada titik klimaksnya mengandung kekuatan luar bisa khususnya dalam mambangun toleransi dalam keberagamaan. Karena meski berbeda agama, semuanya didudukkan bersama, tidak saling memunggungi dan berbuat satu misi persaudaraan bersama jangka panjang. Semangat teosentris melalui ritual itu pada akhirnya akan membentuk sebuah bangunan kesejahteraan masyarakat Ngargosari dalam berbudaya, bersosial maupun beragama.

http://www.gong.tikar.or.id/?mn=wawasan&kd=59&to=view

Belajar Kepada Sastra

Edit Posted by with No comments


Artikel ini sengaja saya kutip dari Majalah Gong majalah Seni dan Kebudayaan karena saya anggap menarik untuk menambah wawasan .....
Belajar kepada Sastra
Oleh: Raudal Tanjung Banua, Koordinator Komunitas Rumahlebah, tinggal di Yogyakarta.

Belum lama, saya mendapat tugas tematik dalam sebuah forum untuk mendiskusikan sebuah keadaan: Belajar kepada sastra, bercermin kepada budaya. Sejauh mana sastra dianggap penting, di tengah masyarakat yang tengah mengalami gegar-budaya? Apakah sastra bisa sebagai sumber rujukan persoalan, sementara di sisi lain terjadi percepatan material dan industrial? Serta sederet pertanyaan yang kerap diajukan, tapi tetap sulit dijawab.
Apa yang dapat saya katakan? Tidak banyak, kecuali sebuah kalimat pembuka: Belajar kepada sastra berarti belajar kepada kehidupan. Kenapa? Karena karya sastra merupakan saripati kehidupan. Para kreator sastra, melalui proses kreatifnya, mengolah hal-hal yang menarik untuk dijadikan teks sastra; bagai seorang koki ia mengolah bahan dan bumbu, lalu terciptalah menu-menu kehidupan untuk dihidangkan kepada kita, pembaca, dengan rasa yang nikmat dan enak....tapi tidak!
Sebagai koki kreatif, yang selalu bergulat dengan kehidupan sosialnya, sering kali hidangan sang kreator “tidak enak”; kadang ia sinis menuding, kalimatnya tajam mengiris, kata-katanya sulit, temanya berat, konfliknya tinggi, karakter tokoh sukar ditebak, ceritanya berbelit, kadang keluar dari norma umum, sehingga pembaca yang menginginkan hiburan sesaat, akan kelabakan. Maka, secangkir “kopi puisi” terasa pahit, meski mengandung ketulusan: supaya dapat kau ceritakan pada mereka perihal dada yang terhimpit ini:/dada seorang ibu yang tak sempat melihatmu menangis atau sekedar tersedu. sebab baginya/kaki-kaki kursi yang diinjakkan pada kuku-kuku kaki suaminya tak pernah benar-benar/mengenal rasa sakit: oleh luka maupun oleh kepergian yang dipaksakan. ia ingin mengutuki/dirinya jadi batu atau serumpun pohonan bambu tempat putri tanah ini terlahir. ia ingin/menjadi jembatan, tempat anak-anaknya menyebrangi cita-cita tanpa tangan kekar sang ayah/namun suara tertahan dari leher tercekik tak sempat memandunya berdoa”.
Buton, di tangan seorang “koki” sastra bernama Irianto Ibrahim, terasa lain. Dalam bait puisi “Sekantong Luka dari Seorang Ibu” di atas, ia tidak menghadirkan keindahan alam Buton dengan laut dan bukit-bukit karangnya, dinding-dinding kraton Wolio yang katanya terluas di dunia, atau kota Bau-bau yang terus menggeliat. Namun ia mengambil sesuatu yang terlupakan dari Buton; pahitnya sejarah tahun 1969. Lewat sosok seorang ibu, ia hadirkan kembali penggalan-penggalan kisah perih itu, dan sang ibu menjadi wakil dari kepedihan Buton, kepedihan kita semua. Tentu, Anda tidak akan merasakan itu sebagai “menu” yang mengagetkan lidah dan perasaan, jika Anda tidak memiliki cantelan referensial tentang apa yang terjadi di Buton pada tahun itu. Seorang pembaca, dituntut sama kreatifnya dengan koki sastra, jika ia ingin mendapatkan sesuatu yang berbeda dari kehidupan yang belakangan semakin monoton saja oleh penyeragaman industri dan kapitalisasi ini.
Itu sebabnya, ketika seloka, pantun dan segala norma masih kuat melekat, Chairil Anwar muncul dengan “menu” ritual, “Di Masjid” yang mengagetkan: Kuseru saja Dia/Sehingga datang juga//Kami pun bermuka-muka//Seterusnya Ia bernyala-nyala dalam dada/Segala daya memadamkannya//Bersimbah peluh diri yang tak bisa diperkuda//Ini ruang/Gelanggang kami berperang//Binasa-membinasa/Satu menista lain gila//
Di tangan Chairil, proses pencarian Tuhan tidaklah dengan anggur yang memabukkan atau manisnya sari kurma, melainkan dengan proses yang menghentak, menyala-nyala. Tidak dengan ketakziman umum, tetapi langsung “bermuka-muka”. Masjid bukan ruang hening dingin tempat doa-doa hapalan dipanjatkan, namun “gelanggang kami berperang”.
Mengapa seorang sastrawan berbeda menghadirkan olahannya dengan koki pop konvensional? Tentu saja, karena jauh sebelum mengolahnya, seorang sastrawan tidak menemukan begitu saja dirinya sebagai seorang koki, yang mengolah semua bumbu, rempah dan bahan kehidupan itu, namun pertama-tama ia adalah pengumpul bahan yang tekun, sebanyak-banyaknya, dengan berbagai cara dan upaya. Pengalaman hidup, peristiwa peristiwa yang ia alami atau saksikan, bacaan dan referensi, pergaulan dan jaringan, riset atau penelitian, dan seterusnya, merupakan hal-hal yang perlu mereka miliki, sehingga benar kata Subagio Sastrowardoyo, “Sastrawan tidak lahir dari ruang hampa”.
Namun demikian, dari begitu banyak bahan yang ia punya, seorang pengarang adalah juga koki yang cermat memilah bahan, memilih bumbu dan rempah, sehingga tidak semua hal bisa ia tuangkan dengan serta-merta, tanpa jalan pengendapan, kontemplasi, atau secara teknis menyangkut penyuntingan. Banyak karya sastra menjadi gagal karena sebagai koki, si pengarang berhasrat memasukkan semua bahan, semua bumbu, sehingga yang muncul hanyalah fragmen, verbalitas, dan streotipe.
Memang benar, sastrawan lahir dari lingkungan sosial, kultural dan sejarahnya, namun sekaligus bergulat dengan semua itu, lewat pelbagai hal: dialog, tawar-menawar, merekonstruksi, menggali, mempertanyakan kembali, atau mencipta sejarah baru. Dengan demikian, seorang sastrawan tidak mengikut arus utama (mainstream), pusaran yang menyeret banyak orang, tetapi ia, seturut Octavio Paz,”membawa suara lain, the other”, meskipun suara lain itu beresiko bakal senyap. Tapi menurut Khalil Gibran pula, “ia bagai senandung lirih di padang pasir, sunyi, tapi pasti ada yang mendengar.” Atau dalam konteks Chairil Anwar, sebagaimana dinyatakan Asrul Sani atau HB Jassin, “Sastrawan itu sebagai jiwa zaman, zeetgezet.

***

Karena itu, tidak diragukan lagi, karya sastra yang baik adalah tempat kita belajar banyak hal, dan itu jauh lebih menarik dan asyik. Kita tahu, sebagai karya kreatif, sastra menjadi unik setidaknya atas dua hal. Pertama, dari sisi kepengarangan ada lisensi-puitika; seorang pengarang mempunyai hak ke luar dari bahasa baku jika memang itu dirasa perlu, mendobrak pakem dan konvensi, namun tanpa kehilangan unsur komunikasinya. Kedua, dari sisi pembaca, ada ruang interpretasi, di mana setiap pembaca memiliki tafsir atas bacaannya, tapi tentu juga memahami limit-interpretasi.
Berdasarkan yang pertama, kita sangat menerima eksprimen-eksprimen yang tercatat dalam khazanah sastra nasional kita, seperti Sutardji Calzoum Bachri dengan kredo “puisi mantra”-nya, Danarto dengan cerpen-cerpen sufistik ala Jawa (Kejawen), Putu Wijaya yang mengoarkan “teror mental” atau Joni Ariadinata yang menaturalisasi dunia rekaan. Akan tetapi, di sisi lain, jauh lebih banyak lagi pengarang yang tidak secara ekstrem memanfaatkan lisensi-puitika ini, toh karya-karyanya tetap abadi sebab memang digarap dengan baik, mulai dari AA Navis, Kuntowijoyo, Mochtar Lubis, sampai Seno Gumira Ajidarma.
Dari sisi pembaca, berkat ruang interpretasi yang luas, seseorang bisa belajar banyak hal dan memetik hikmah dari teks sastra yang dibacanya, tanpa merasa digurui. Kita tahu, teks sastra tidak bersifat dogmatik, tapi dimensional dan universal. Itulah sebabnya, kita bisa lebih paham sejarah dan budaya suatu bangsa lewat sebuah novel ketimbang diktat sejarah dan antropologi di sekolah-sekolah. Untuk memahami penderitaan pribumi dalam penindasan kolonial, bagi saya jauh lebih jernih dan kompleks lewat Max Havelar: Adinda dan Saijah karya Multatuli dan tetralogi Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Tour.
Pada zaman transisi pemerintahan Belanda-Jepang, peristiwa di seputar itu tertuang sangat liar dalam cerpen-cerpen Idroes dalam Dari Ave Maria: Tak Satu Jalan ke Roma atau novel Dan Perang pun Usai karya Ismail Marahimin. Sejarah pergolakan 1965 yang dramatik, bisa kita selusuri ulang dalam cerpen-cerpen Martin Aleida, novel Anak Tanah Air Ajip Rosidi, atau di sejumlah puisi penyair Lekra/eksil Indonesia seperti Agam Wispi dan Putu Oka Sukanta. Ke luar, kita juga akan lebih paham sejarah dan budaya bangsa-bangsa Arab dan Romawi misalnya lewat novel-novel Amin Maalouf; sejarah Turki Otoman lewat novel Orhan Pamuk; pergulatan manusia dan bangsa-bangsa Eropa lewat karya-karya Anton Chekov, Frans Kafka, Alexander Dumas sampai Milan Kundera. Kita juga bisa lebih jernih melihat identitas dan pergulatan bangsa-bangsa Afrika lewat novel Achanue Achebe, Emile Sola, Fanon; psikologis masyarakat Mesir lewat karya Nadjib Mahfudz; sejarah kemerdekaan India lewat novel Salman Rusdhie, Anak-anak Malam, atau tentang India hari ini melalui karya-karya pengarang diaspora Anita Desai dan Jhumpa Lahiri, termasuk sejarah kontemporer Malaysia dari cerpen-cerpen Karim Raslan.
Ya, karya sastra adalah juga kaca benggala kebudayaan suatu bangsa. Sikap hidup bangsawan Jawa misalnya, dapat kita lihat dalam Para Priayi-Umar Kayam atau Burung-burung Manyar-YB Mangunwijaya; eksotisme dan ironisme budaya Jawa pedalaman dapat kita baca dalam Ronggeng Dukuh Paruk-Ahmad Tohari; ironisme budaya matrilinial di Minangkabau dalam novel-novel Hamka; pergulatan budaya Bali antara bangsawan dan hamba sahaya dapat kita lihat dalam karya Oka Rusmini atau cerpen-cerpen Gde Aryantha Soethama. Dalam konteks karya sastra, sisi budaya ini boleh jadi akan merujuk perbincangan tentang lokalitas dalam sastra, meski pula sebenarnya budaya tidak hanya terbatas pada lokalitas, dan yang lokalitas pun tidak semata etnisitas.
Pendek kata, belajar kepada sastra hakikatnya belajar pada kehidupan; sedangkan kehidupan merupakan ranah luas tempat persemaian berbagai kebudayaan. Dari sanalah lahir kata, dan ilham tak habis-habis ditimba...

Sumber :
http://www.gong.tikar.or.id/?mn=wawasanWawasan - Edisi: 119/XI/2010