Analisis adalah suatu kajian,
kupasan yang membagi bagian-perbagian secara detail dari unsur terkecil sampai
dengan struktur yang lebih besar, menjelaskan tentang sebab akibat suatu sistem
tata-hubungan bagian satu dengan yang lain. Analisis merupakan sebuah proses
yang berhubungan dengan kepentingan manusia, pelaku mengekspresikan pemahaman
terhadap objek berhubungan dengan lingkungan, sesama manusia, dan Yang Maha
Kuasa. Tari lahir dengan proses yang membentuk kehadiran tari itu, misalnya
Bedaya Ketawang hadir sebagai ujud legitimasi Raja Kasunan Surakarta (keabsahan
kekuasaan raja), demikian pula Wayang Wong gaya Yogyakarta hadir sebagai ritual kenegaraan dan pusaka
Keraton Yogyakarta. Sifat utama
analisis adalah pencandraan, yaitu mengamati apa yang dilihat secara riil, dan
merupakan sebuah penggambaran objek tentang apa dan bagaimana? Hasil analisis tidak
bisa digunakan secara universal untuk objek yang lain, karena nilai positif
yang dihasilkan belum tentu cocok untuk objek yang lain.
Analisis Tekstual merupakan sebuah pengamatan tari dari sisi teknik yang
berkaitan dengan bentuk tari. Setiap bentuk merupakan pewujudan dari teks. Tari
adalah bagian ekspresi budaya sebuah komunitas dan bukan ekspresi individu,
misalnya Bedaya, Srimpi sebagai ekspresi komunitas Istana, sedangkan lengger atau tayub merupakan ekspresi komunitas masyarakat petani. Sebuah satuan
organik yang dibangun berdasarkan tata hubungan unsur-unsur internal suatu
bentuk. Organik adalah kumpulan unit yang ditata dalam sebuah struktur yaitu
dalam seperangkat tata hubungan, organisme mempunyai struktur. Misalnya susunan
kalimat teks Proklamasi merupakan pernyataan bangsa Indonesia. Susunan kalimat itu
dibangun dalam satuan organik yang saling mengikat sehingga membentuk
pengertian. Satuan teks ditentukan oleh konvensi atau aturan yang berlaku atau
kebiasaan budaya, misalnya di lingkungan istana tercipta bentuk tari yang
teratur dan halus seperti kehidupan di istana yang tertatur. Analisis kontekstual merupakan pengamatan tari dipandang
sebagai objek studi yang tidak lepas dari ruang lingkup yang membentuk tari itu,
yang berkaitan dengan sejarah, antropologi, sosiologi, dan sebagainya.
A. ANALISIS STRUKTUR
Konsep estetis pembentukan karya seni tari di lingkungan
masyarakat Jawa dikenal konsep Joged
Mataram dan Hasta Sawanda.
Pengamatan tari melalui sisi teknik tari tidak terlepas dari teknik tari
sebagai wadah dan Joged Mataram
sebagai isinya. Filsafat Joged Mataram
apabila diterapkan dalam seni tari akan mengarah pada keseimbangan lahir batin.
Ilmu Joged Mataram terdiri dari 4
unsur yaitu:
- Sewiji, berarti konstrasi total tanpa menimbulkan ketegangan jiwa.
- Greged, dinamika atau semangat yang terkontrol untuk disalurkan ke arah yang wajar dan tidak memberi kesan kasar.
- Sengguh, berarti percaya diri tetapi tidak sombong.
- Ora mingkuh, berarti tidak kecil hati, tidak takut menghadapi kesulitan, dan mengandung arti penuh tanggung jawab.
Hasta Sawanda merupakan norma atau aturan pada tari Surakarta yang patut ditaati penari untuk meningkatkan
kemampuan teknik tari sehingga mencapai kategori penari yang baik. Hasta
Sawanda terdiri dari:
- Pacak, yaitu patokan baku yang meliputi sikap dan gerak dari seluruh anggota badan.
- Pancat, yaitu proses perpindahan gerak yang satu ke gerak selanjutnya sehingga rangkaian gerak berkesinambungan dalam satu irama gerak tari.
- Ulat,polatan atau pandangan dalam ragam gerak tertentuyang mengarah pada ekspresi atau perwatakan.
- Lulut, artinya penguasaan gerak telah menyatu dengan penari.
- Wilet, artinya kemampuan penari dalam memberi variasi gerak yang dibuat penari tanpa meninggalkan patokan yang ada, wilwe yang ajeg bisa mengarah pada gaya pribadi.
- Luwes, artinya seorang penari harus luwes menurut kriteria gerakan tari yang dimaksud.
- Wirama,artinya penguasaan dan pemahan irama, hitungan dalam gerak tari, tempo, sehingga penari dapat mengatur dirinya dalam menari.
- Gending, artinya pemahaman terhadap gending, artinya penari mengerti jenis, nama, watak gending,sehingga penari mampu mengekspresikan gerak dan jiwanya yang disesuaikan dengan gendingnya.
Isi yang terkandung dalam Joged Mataram dan Hasta Sawanda dapat diterapkan sebagai norma pada tari
klasik maupun tari yang lainnya. Berdasarkan pada norma tersebut akan mempermudah dalam
melakukan analisis struktur tari, khususnya tari Jawa klasik. Unsur-unsur
yang terkandung dalam Joged Mataram
maupun Hasta Sawanda merupakan
karakteristik penciptaan tari klasik gaya
Yogyakarta maupun Surakarta.
- Deskripsi Bentuk dan Struktur
Bentuk adalah suatu ujud yang terdiri dari susunan atau
struktur yang saling berkaitan sesuai dengan fungsinya dan tidak terpisahkan
dalam satu kesatuan yang utuh. Bentuk berhubungan dengan struktur yang mengatur
tata hubungan antara karakteristik gerak satu dengan yang lain baik secara
garis besar maupun secara terperinci. (Ben Suharto, 1983: 6). Menurut Sussane Langer dalam buku Problem of Art menyatakan “Form
in its mast abstract sence mens structure, articulation, a whole resulting from
the relation of mutually dependent factors or more practisely the way that
whole is put together” artinya bentuk dalam pengertiannya yang paling
abstrak berarti struktur yaitu sebuah ucapan atau pernyataan suatu hasil
keseluruhan dari tata hubungan yang faktor-faktor yang saling tergantung,
secara lebih tepatnya suatau cara bagaimana secara keseluruhan itu di tata
letakan bersama. Struktur merupakan sebuah proses yang memungkinkan prodak itu
terwujud. Struktur yang terbentuk dalam satu jaringan satu sama lain saling
memberi fungsi satu dengan yang lain. Radcliffe Brown menyatakan struktur
sebagai seperangkat tata hubungan di dalam kesatuan keseluruhan (Royce, 1980,
dikutip Ben Suharto, 1987: 1)
- Sejarah Analisis Struktur
Para sarjana tari telah melakukan penganalisaan tari melalui pendekatan
sruktural, yaitu pendekatan yang berkembang pertamanya sebagai bidang studi
bahasa. Pendekatan itu dalam bidang studi bahasa disebut dengan istilah linguistik
atau ilmu tata bahasa. Radclife Brown menjelaskan pengertian srtuktur dengan
analogi organik. Brown menyatakan bahwa organ seekor binatang terdiri dari
sebuah cahaya sel dan celah zat cair yang saling berhubungan, sehingga keduanya
tidak semata-mata dipandang sebagai sebuah kumpulan saja, melainkan sebuah satu
sistem integrasi molekul yang rumit atau kompleks. Sistem tatahubungan di mana
unit-unit dihubungkan adalah merupakan struktur organik. Istilah organik yang
dimaksud di sini adalah kumpulan unit-unit yang ditata dalam sebuah struktur,
yaitu dalam seperangkat tatahubungan, orginisme mempunyai struktur. Menurut Radcliffe Brown srtuktur sebagai
seperangkat tatahubungan di dalam kesatuan keseluruhan (Royce, 1980, dikutip
Ben Suharto, 1987: 1).
Penelitian tari yang menggunakan
padanan bahasa sebagai pendekatan dapat dirangkum dalam dua metodologi , yaitu:
1). Terminologi universal elemen dasar gerak tari, dan 2). Aturan gramatikal
universal gerak tari. Kedua metodologi ini dianggap dapat diterapkan sebagai
pendekatan untuk segala bentuk tari dari berbagai lingkup budaya (Choy 1981,
dikutip Ben Suharto, 1987: 1)
Contoh penerapan metodologi yang
pertama yaitu tulisan Kaeppler dalam menganalisa tari Tongan. Analisanya
menitik beratkan pada dua tataran atau unit dasar yaitu dalam kategori
linguistik yang menggunakan padanan fonem dan morfem dengan mengetengahkan
istilah kinem dan morfokin (Kaeppler 1972, dikutip Ben
Suharto, 1987: 2). Padanan linguistik
digunakan untuk menguraikan bahasa dengan pertama-tama memecah notasi fonetik semua suara yang didengar, dan
hal ini dapat pula dilakukan oleh seorang penari yang memecah dalam notasi kinetik (seperti notasi Laban) semua
gerak tari yang dilihat. Sistem penganalisaan itu disebut dengan analisa etik yang membedakan gerak satu dengan
yang lainnya dalam satu system yang bebas dan mengacu pada perbedaan gerak
seperti apa adanya sesuai dengan perbedaan sesungguhnya. Di dalam analisa etik, pola-pola gerak secara fisik dijelaskan
tanpa mengkaitkan dengan fungsi gerak itu dalam system. Sedangkan analisa
dengan pendekatan emik memperhatikan hubungan fungsional secarapenuh dengan
menentukan satuan-satuan kontrastif minimal sebagai dasar deskripsi
(Kridaleksana 1982: 41). Kaeppler tidak menggunakan analisa dengan sistem etik, tetapi ia memperlakukan kinem yang menjadi padanan fonem sebagai
sasaran untuk analisa dengan pendekatan
emik.
Dengan analisa emik akan dapat
disusun inventarisasi gerak bermakna yang disebut kinem, yaitu unit yang sepadan dengan fonem berupa unsure yang
dipilih dari semua kemungkinan gerak dan sikap yang dikenal memiliki makna bagi
orang dari kalangan tradisi di mana tari itu hidup dan berkembang.
Selanjutnya Kaeppler menjelaskan
bahwa kinem merupakan gerak dan sikap yang meskipun tidak mempunyai maknanya
sendiri, tetap saja merupakan unit dasar
tari di kalangan tradisi tertentu disusun. Tugas pertama analisis
struktur adalah melokalisasikan unit dasar gerak tari tradisi tertentu dan
mendefinisikan teba kemungkinan variasi diantara unit-unit tersebut (Kaeppler
1972, dikutip Ben Suharto, 1987: 2).
Analisa etik digunakan untuk eksperimentasi dalam usaha mendapatkan
penetapan perbedaan gerak secara lebih akurat dalam rangka mendapatkan
perbedaan gerak pada gilirannya sewaktu menganalisa dengan menggunakan
pendekatan emik. Bila pada waktu
pengujian untuk memperoleh kejelasan adanya perbedaan gerak tataran kinem ternyata terdapat perbedaan yang
tidak menjadikan masalah bagi para ahli di kalangan tradisi di man tari itu
diselidiki, maka gerak itu merupakan allokine
dari sebuah kinem. Dengan kata lain
ternyata antar pribadi mempunyai variasi dalam melakukan sesuatu gerak yang
pada dasarnya mempunyai bentuk yang sama. Dalam menganalisa tari Tongan,
Kaeppler menyatakan bahwa pada tingkat
kinem ia hanya melihat pada kontur gerak saja, sehingga ia tidak melibatkan
pertimbangan aspek waktu masih tidak dipandang sebagai sesuatu yang berbeda.
Untuk
menetapkan pola gerak dan sikap pada tingkat kinem, ia menggunakan analisa kontrastif yang mirip dengan proses
dalam bahasa untuk mendapatkan fonem. Pola gerak dan sikap yang tidak berbeda
secara kontras sehingga dapat dilihat sebagai variasi dikelompokkan sebagai allokine, sehingga dengan demikian
dimungkinkan untuk mendefinisikan batas kinem
berikut variasinya. Sedangkan pola gerak dan sikap ini memiliki perbedaan
secara kontras dapat dipandang sebagai kinem yang lain berikutnya.
Pada
tingkat kinem ia menggunakan suatu
konstelasi yang dihasilkan melalui tiga bagian tubuh yaitu kaki, tangan dan
kepala sehingga sistem gerak bermakna. Sedangkan torso dan pinggul meskipun
bergerak juga tetap tidak bermakna oleh karena tidak dianggap berbeda oleh
masyarakat pendukungnya. Setelah inventarisasi seluruh kinem sebagai tingkat
pertama analisa struktural ini, maka barulah dilanjutkan dengan pengelompokan
untuk mendapatkan tingkat yang kedua, yang ia sebut dengan tingkat morfokin
(morfokinemik), sebagai satuan atau unit yang lebih besar.
Tingkat
kedua organisasi struktural gerak tari, ia sebut dengan istilah tingkat
morfokinemik dan merupakan padanan dengan tingkat morfem pada struktur bahasa.
Ia mendefinisikan morfokin sebagai unit terkecil yang memiliki makna
dalam struktur pada sistem gerak. Tetapi ia mengingatkan bahwa penjelasan
tentang makna tidak harus dalam makna naratif atau penggambaran hal tertentu,
meskipun beberapa diantaranya memang begitu. Makna ia maksudkan bahwa sesuatu
wujud dapat dikenal sebagai gerak tari. Sebagaimana diketahui bahwa pada
tingkat kinem sebagaimana pada tingkat fonem dalam bahasa, dikalangan luas secara
tidak disadari menjadi kesatuan yang terpisah bagi mereka yang biasa
menyajikannya. Morfokin merupakan kombinasi kinem baik gerak dan
sikap kedalam alunan gerak dengan awal dan akhir yang jelas. Dan hanya beberapa
macam kombinasi saja yang dipandang mempunyai makna. Penggabungan itu tidaklah
dengan urutan yang linier seperti pada bahasa. Dapat pula sebuah morfokin
terdiri dari segelintir kinem yang jelas satuan-satuan tersebut tidak
dapat dibagi atau diperinci tanpa merubah atau merusak maknanya. Kombinasi ini
dikenal sebagai gerak oleh para pelaku tari tradisi tertentu dan biasanya
mempunyai nama.
Pada
dasarnya analisa struktural pada tari Tongan yang telah dilakukan oleh Kaeppler
ini menggunakan padanan linguistik terutama pada elemen dasar yaitu tingkat
satu dan tingkat dua saja sebagai tingkat kinemik dan tingkat morfokinemik
seperti tingkat fonem dan tingkat morfem pada bahasa. Dalam analisanya ia
membagi tari Tongan dalam empat tingkat. Pada tingkat yang ke tiga ia
menggunakan istilah motif yang ia definisikan sebagai kombinasi morfokin yang
sering kali terjadi sehingga membentuk satuan pendek di dalamnya. Ia sering
menyebutnya dengan kombinasi motif-motif sebab kemiripannya dengan yang disebut
motif pada seni visual. Meskipun banyak diantara motif tidak memiliki nama,
tetapi ombinasi itu mempunyai asosiasi kata, dan menjadi ilustrasi pilihan
budaya tari Tongan dalam menginterpretasikan tidak dengan pernyataan tetapi
bersifat kiasan.
Pada
tingkat yang keempat sudah merupakan genre tari. Penetapan sebuah tari
tergantung dari kombinasi motif yang dipakai dalam sesuatu tarian. Empat
tingkat yang ditemukan untuk mengulas seluruh data yang relevan pada tari
Tongan ini hanya khusus dan sah untu tari Tongan itu sendiri. Sehingga dengan
begitu sangatlah dimungkinkan bahwa suatu tari yang berasal dari lingkungan
budaya tertentu hanya memiliki tiga tingkat saja, tetapi bukan tidak mungkin
memiliki lebih dari lima tingkat. Kaeppler menyatakan bahwa tingkat yang
dianggapnya paling universal sehingga dapat diterapkan untuk segala sistem
gerak hanyalah pada tingkat kinemik dan tingkat morfokinemik
saja. Sedangkan tingkat-tingkat sesudah kedua tingkat tersebut dalam
pengorganisasian gerak lebih bebas tergantung pada sistem budaya eksternalnya.
Sebenarnya
mirip apa yang telah dilakukan oleh Kaeppler telah dilakukan juga oleh dua
orang sarjana tari dari Eropa yang menyelidiki tarian Hongaria. Kedua orang itu
adalah Martin dan Pesovar. Mereka mengemukakan pentingnya kejelasan pengertian
morfologi dan struktur dengan mengatakan bahwa konstruksi organik sebuah tari
hanya dapat diungkapkan dengan memisah-misahkan keseluruhan tari ke dalam
komponen bagian-bagiannya. Oleh karena itu mereka menganggap sebagai prasyarat
bagi setiap penganalisaan secara struktural untuk terlebih dahulu secara tepat
dan baik mengenali dan membedakan bagian-bagian dan unit-unit suatu tari.
Dengan begitu jelaslah bahwa mereka mengacu pada analisa bentuk atau morfologi
tari. Dengan cara penganalisaan semacam itu mereka membedakan bagian-bagian
yang menunjang suatu tata hubungan hirarkis satu dengan lainnya. (Royce 1980,
dikutip Ben Suharto, 1987; 5).
Martin dan
Pesovar menyebut satuan atau unit terkecil pada tari Hongaria yang tak dapat
dibagi lagi dengan istilah unsur kinetik (kinetic element). Selanjutnya mereka
menyatakan bahwa meskipun elemen kinetik tidak apat dibagi lagi ke dalam gerak
independen yang lebih kecil, namun tidak berarti bahwa elemen-elemen tersebut
tak dapat dianalisa dan dibagi ke dalam fase-fase.
Unsur kinetik
mempunyai fungsi ganda, yaitu pertama bila beberapa unsur kinetik disatukan
maka dapat membentuk apa yang mereka sebut dengan ”unit minor tari”.
Sedangkan yang kedua yaitu bahwa suatu unsur kinetik dapat disisipkan diantara
unit-unit tertentu baik untuk menyambung maupun untuk membentuk ”unit mayor”.
Didalam struktur tari unsur kinetik bersama dengan unit-unit lain yang serupa
membentuk sesuatu yang oleh Martin dan Pesovar dikategorikan sebagai ”bagian”.
Pada tingkat berikutnya mereka menyebut dengan istilah ”motif”, yang
merupakan unit organik terkecil dalam tari, yaitu unit dimana pola ritme dan
kinetik membentuk suatu struktur yang secara relatif mirip dan berulang, atau
muncul kembali. Keberadaan motif ada pada kesadaran penari, dapat dihafalkan,
dan diulang dalam tari. Hal itu tidak berlaku pada tingkat unsur kinetik. Motif
dianggap masuk dalam kategori ”unit minor”. Melalui gerak yang silih berganti,
pengulangan dan penyatuan ”unit minor” dan ”bagian” membentuk unit mayor dan
dengan cara itu kesemuanya teruntai dalam gerak tari.
Penggunaan
metodologi yang ke dua dengan mencari aturan gramatikal universal gerak tari
telah dilakukan oleh Williams. Dengan pengaruh karya Ardener, Crick dan
Chomsky, ia mendefinisikan suatu hukum gerak dan berbagai aturan
transformasional yang dapat diterapkan untuk tari apa saja termasuk tarian
ritual, dan selanjutnya dapat dipergunakan untuk perbandingan lintas budaya.
Hukum dan aturan memungkinkan pemerincian kata-kata kedalam morfem dan fonem.
Selanjutnya Williams juga mendefinisikan grammar tari sebagai artikulasi skala
gerak yang dari antara gerak itu dipilih untuk tari tertentu. Istilah skala
tersebut mengacu sebagaimana skala dalam pengertian musik Barat (Choy 198,
dikutip Ben Suharto, 1987: 6).
Seperti
Williams maka karya Singer dipengaruhi oleh Chomsky, tetapi disamping itu ia
juga mengacu pada Jakobson, Halle dan Keyser dengan mengembangkan grammar
universal berdasarkan teori struktur metris tari. Pola metrikal tersebut
menjadi instrumen dalam pengorganisasian gerak ke dalam urutan dan selanjutnya
ke dalam bentuk tari. Ia memperoleh aturan tersebut agar dimungkinkan adanya
kaitan gerak tari dan pola matrikalnya (Kaepler 1978, dikutip Ben Suharto,
1987: 6)
Woodard
menganalisa sebuah tari Jawa (Golek Lambangsari), dengan cara mendefinisikan
struktur gramatikal. Ia mendefinisikan berbagai macam unit tari yaitu: ”unit
gerak dasar”, ”sub frase”, ”frase”, dan dalam pengertian yang lebih luas lagi
pada tingkat ”frase gerak dasar”. Selanjutnya ia membicarakan bagaimana semua
gerak dasar antar unit dipadukan. Meskipun Woodard kadangkala menggunakan
terminologi aslinya tetapi tidak seperti Kaeppler. Ia tidak menaruh perhatian
dengan kategori konsep Jawa, sehingga dengan begitu ia lebih menggunakan
pendekatan etik (secara bebas dari lingkungan budaya) dalam menganalisa bahan
tanpa pautan dengan faktor lain seperti struktur musikal dan aspek budaya
lainnya.
Berbeda
dengan kedua metodologi yang telah terurai sebelumnya, Ben Suharto tertarik
untuk mengamati apa yang telah dilakukan oleh Choy dalam menganalisa tari Jawa
(Golek). Memang ia mengacu pada apa yang telah dilakukan oleh Kaeppler terutama
dalam penganalisaan elemen dasar, serta penggunaan pendekatan emik, dan bahkan
juga seperti Martin dan Pesovar ia mencari tata hubungan antar komponen yang
satu dengan lainnya di dalam pengorganisasian gerak tari secara hirarkis.
Sehingga dengan demikian dari pendekatan strutural ia mengupas tentang dua
masalah sebagai berikut:
1. Gerak yang mandiri dan yang tumpang-tindih
(gerak yang secara kebetulan
bersama terjadi).
2. Hubungan secara hirarkis.
Secara
menyeluruh tulisannya menggunakan sebuah pendekatan sebagai jawaban atas
pertanyaan yang ia ajukan tentang pengandaiannya: ”Jika seseorang menduga bahwa
bahasa dan tari dalam satu lingkup budaya berbeda dengan lingkup budaya lain,
maka pandangan semacam apa yang tepat untuk menyelidiki tari Jawa dan hubungan
tari Jawa dengan bahasa Jawa?”. di dalam menjawab pertanyaan tersebut ia
memilih untuk menarik garis besar padanan dengan bahasa yaitu dengan
memperlakukan tari sebagai suatu teks. Sebuah teks tari dapat dimengerti
sebagai suatu bentuk budaya dimana makna yang terkandung di dalamnya tidak saja
terbatas hanya pada materi tekstualnya, tetapi lebih dari itu juga mencakup
seluruh kontekstualnya. Interpretasi sebuah teks tari tidak hanya melibatkan
penetapan unit yang lebih kecil tari itu pada tingkat dasar, tetapi juga
penganalisaan dalam keterkaitan keseluruhan tari itu, bahkan termasuk juga
konteks masa lampau dan sekarang. Pandangan dalam karya Clifford Geertz, Paul Ricouer,
Gregory Bateson dan Alton Becker, Choy menyatakan bahwa pandangan yang ia
kemukakan dapat disebut dengan pendekatan berlapis ganda (multilayered).
Menurut
Geertz analisa kebudayaan dapat dianggap sebagai sebuah interpretasi makna, dan
bukan semata-mata usaha untuk mendapatkan penetapan tata aturan atau hukum.
Selanjutnya Geertz pula yang menyatakan bahwa bentuk budaya dapat diperlakukan
sebagai teks, sebagai karya imajinatif yang tersusun dari materi sosial (Geertz
1973, dalam Choy 1981, dikutip Ben Suharto, 1987: 7). Sebenarnya pemikiran
tentang penyusunan sebuah model teks ini telah dilakukan sebelumnya oleh
Ricouer yang tulisannya tentang teks sebagai karya wacana sangatlah bermanfaat
terutama sifatnya yang memiliki keluwesan dan memungkinkan hubungan struktur
batin (inner structure) teks itu dengan penekanan pentingnya teks yang
telah ada sebelumnya.
Kupasan
seperti itu dapat dipandang sebagai langkah lanjut dalam memperoleh pengetahuan
tentang pola yang lebih luas, atau dalam hal ini hubungan antara tari dengan
bahasa. Bateson menyebutnya dengan istilah metapola (metapattern).
Pendapat Bateson ini telah mendorong Choy dalam mencoba untuk mencari hubungan
tersebut, sebab ia memandang hal itu sebagai sangat berguna secara metodologis
dalam usaha untuk mencari eterkaitan antara tari dan teks tertulis, tidak hanya
karena Bateson mengenal urutan yang ada dalam organisme, tetapi urutan yang ada
antar organisme (Choy 1981, dikutip Ben Suharto, 1987: 8).
Ananlisis
yang dilakukan Ben Suharto diharapkan mampu memberikan gambaran tentang
kerangka kerja yang dapat dikembangkan melalui pendekatan berlapis ganda ini
sebagai salah satu alternatif dalam mengembangkan metodologi penelitian tari
lebih lanjut dalam ruang dan waktu atau kesempatan yang lain.
Walaupun terdapat beberapa
perbedaan, namun pada dasarnya kerangka kerja yang dipergunakan dalam analisis
tari Gambyong, Ben Suharto mengacu pada tulisan Choy dalam menganalisa tari
Golek, sebagaimana ia mengutip pula dari konsep yang dikemukakan Ricouer
tentang empat sifat yang dimiliki bahasa sebagai komunikasi, yaitu:
1. Mengacu pada waktu
2. Mengacu pada subyek
3. Mengacu pada alam
4. Mengacu pada penghayat
Selanjutnya masih ditambah dua
sifat yang berkaitan dengan pengertian teks sebagai keutuhan keseluruhan yang
dapat diterapkan untuk mengupas tari melalui:
5. Keterkaitan di antara komponen-komponennya
6. Teks awal lainnya untuk dapat dibandingkan
dengan materi yang dipilih untuk tulisan ini.
0 komentar:
Posting Komentar