Senin, 04 April 2011

Ritual Laku Lampah untuk Kemurahan Rejeki

Edit Posted by with No comments


Catatan ini saya ambil dari wawasan seni Majalah Gong Edisi: 119/XI/2010
Berisi tentang makna Filosofi Laku Lampah,sebuah ritual yang mengharuskan pelakunya berjalan sejauh 10 KM dengan penerangan obor.
Selamat Membaca...

Laku Lampah untuk Kemurahan Rejeki
Oleh: Fathorrahman Hasbul, Peneliti Sosial-Budaya, tinggal di Yogyakarta.

Perjalanan untuk menuju semangat toleransi dan sejenisnya dalam komunitas masyarakat sangatlah berbeda. Tradisi untuk mencapai hakikat persaudaraan sejati di setiap wilayah memiliki kekhasan masing-masing yang nuansa kearifannya tidak bisa dielakkan. Apalagi dalam membangun toleransi di tengah keberagaman keagamaan.

Namun, bagi masyarakat di desa Ngargosari, Samigaluh, Kulonprogo, Yogyakarta nuansa menciptakan semangat toleransi amatlah besar. Tradisi yang digunakan untuk mencapai puncak seragam dalam keberagamaan tersebut adalah tradisi Lampah Lantri. Sebuah tradisi khas masyarakat Ngargosari yang memiliki nilai-nilai lokal luar biasa.

Setidaknya, dalam tradisi tersebut dibutuhkan kekuatan jasmani dan rohani untuk melakukannya. Sebab bagi yang ingin menjalankan ritual ini seseorang harus berjalan kaki pada malam hari dengan menaiki gunung menuju puncak Suroloyo dengan jarak 10 km. Dalam perjalanan tersebut, seseorang harus menisbatkan hatinya pada Sang Pencipta hanya dengan bantuan sinar sebatang obor.

Ritual Lampah Lantri bagi masyarakat Ngargosari acapkali dilakukan setiap waktu, setiap masyarakat Ngargosari menemukan persoalan. Misi besar dari ritual Lampah Lantri adalah meminta pelindungan dan kemurahan rezeki pada Sang Pencipta. Sehingga tidak heran meski perjalanan tersebut amatlah berat karena harus mendaki ketinggian gunung, tetapi ritual itu tetap dilaksanakan sebagai simbol kehambaan yang melekat dalam naluri masyarakat Ngargosari.

Secara historis Lampah Lantri bermula sejak tempo doeloe. Dalam pengamatan yang dilakukan penulis selama tiga hari di desa Ngargosari dalam rangka Kemah Budaya antaragama 18-20 Desember 2009 yang dilaksanakan oleh Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) Yogyakarta, seorang juru kunci Suroloyo Ki Supriyatno mengatakan bahwa ritual Lampah Lantri berawal dari kegelisahan masyarakat Ngargosari pada masa penjajahan Belanda sekitar 1900-an yang selalu diperas keringatnya untuk bekerja. Berawal dari “kesengsaraan” itu kemudian adat Lampah Lantri lahir dan menjadi sebuah tradisi. Idealnya, Lampah Lantri lahir karena dilatar belakangi oleh persoalan sosio-psikologis masyarakat Ngargosari kala itu.

Terlepas dari jejak historis tersebut, ritual Lampah Lantri merupakan khazanah yang lahir tidak main-main, melainkan penuh dengan semangat pengembaraan dan iluminasi pencerahan menuju Sang Pencipta untuk bangkit dari kemelut ketertindasan. Dalam keterkaitan ini, Lampah Lantri telah melahirkan afirmasi bahwa masyarakat Ngargosari sebenarnya telah manganut paham teosentris (ketuhanan) yang dibangun sejak pra kemerdekaan.

Uniknya, tradisi tersebut tidak hanya bisa dilakukan oleh satu paham keagamaan an sich, namun bisa dilakukan oleh seluruh agama yang terdapat di desa Ngargosari. Para pengikut Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu-Budha dan sebagainya bersama-sama menuju puncak Suroloyo dalam rangka menyatukan tekad dan semangat kolektivitas dan ketuhanan dengan ikhtiar agar kehidupan mereka sejahtera dan damai. Alhasil, meski di Ngargosari terdapat perbedaan agama, tetapi disparitas kesenjangan, gap, dan sejenisnya nyaris tidak pernah tercipta.



Filosofi Ritual

Dalam pengamatan penulis, makna filosofis yang terdapat dalam ritual Lampah Lantri sangatlah besar. Pertama, dilakukan di waktu malam hari. Nuansa malam hari merupakan syarat dari ritual Lampah Lantri. Perjalanan di waktu malam bagi masyarakat Ngargosari sedikitnya akan memberikan makna berbeda dari pada siang hari. Malam hari akan melahirkan perenungan-sepanjang perjalanan-yang mendalam. Rasa sunyi akan menjadi modal bagi mereka yang melakukan ritual Lampah Lantri untuk merenung tentang hakikat kehidupan dan kematian. Dari aspek kematian misalkan, jamak di ketahui bahwa manusia semuanya akan mengalami kematian. Pada saat yang sama, manusia tidak mungkin bersama dan berteman dengan manusia lainnya. Dengan kata lain, kematian adalah kesendiraan dan kesunyian. Sehingga dengan ritual di malam hari tersebut, minimal masyarakat yang melakukan Lampah Lantri bisa terhipnotis untuk mengingat mati. Bila ini tercapai, maka masyarakat akan selalu berpikir tentang sikap hidup baik dan selalu mengedepankan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi.

Kedua, menyalakan obor. Sebelum menjajaki ketinggian gunung, masyarakat yang ingin melakukan ritual Lampah Lantri harus menyalakan obor dan berdoa sebelum berangkat menurut kepercayaan masing-masing. Bagi masyarakat Ngargosari menyalakan obor memiliki makna filosofi yang megandung arti menyalakan semangat, etos dan sejenisnya. Sebelum menuju puncak, mereka harus memiliki semangat untuk melangkah. Bahkan lebih dari pada itu, semangat untuk melangkah itu menjadi pijakan masyarakat Ngargosari untuk membangun semangat dalam hal apapun. Dengan dasar semangat semacam itu meski di Ngargosari mata pencaharian mayarakat tidak jelas dan tidak tetap, tetapi tidak sedikit dari mereka yang mempunyai kekayaan “lebih”. Di sini, plakat semangat telah merasuk ke dalam naluri masyarakat Ngargosari untuk terus berusaha dengan giat dan gigih.

Ketiga, mendaki gunung. Mengapa harus gunung? Menurut masyarakat Ngargosari, gunung adalah simbol kemanusiaan, kehidupan, dan perjuangan. Dalam struktur manusia misalkan, gunung juka memiliki kaki, tubuh dan puncak (kepala). Simbolisasi seperti ini telah menjadi pijakan masyarakat Ngargosari untuk melakukan riual Lampah Lantri. Makna gunung secara epistimologis bagi masyarakat Ngargosari merupakan cerminan bahwa setiap perjuangan harus dibangun dari bawah. Bahkan dalam konteks perjuangan, gunung adalah simbol dari perjalanan hidup yang tidak mudah. Di samping harus memulai dari bawah, perjuangan untuk mencapai kesuksesan dan keberhasilan tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, tetapi harus dilalui dengan jalan terjal dan berliku. Artinya, dalam menempuh sebuah cita-cita dan impian hidup jalur “berdarah-darah” harus tertanam.

Keempat, persemedian. Setelah melakukan perjalanan dan kemudian sampai di puncak Suroloyo, semua yang ikut ritual Lampah Lantri harus bersemedi. Bersemedi bukan dalam arti membaca mantra, namun, merenungkan segala ciptaan agung Sang Pencipta. Sebab, di puncak ketinggian gunung tersebut, semuanya akan terlihat termasuk keseluruhan Yogyakarta, Magelang, dan sebagian wilayah Semarang . Pada saat yang sama, segala ciptaan Tuhan yang lain seperti Langit, Bintang, Bulan dan semacamnya akan terlihat dengan bentang luas dan beragam. Di titik ini, para peserta Lapah Lantri dianjurkan untuk merenung tentang kekayaan ciptaan tersebut. Termasuk tentang posisi manusia itu sendiri. Pada wilayah inilah biasanya akan memunculkan “isak tangis” di antara para peserta. Sebab para peserta Lampah Lantri akan berpikir bahwa manusia ternyata tidak memiliki dedikasi dan kekuatan apa-apa. Manusia benar-benar berada pada posisi lemah, kecil, dan sangat terbatas. Sehingga, ritual perenungan tersebut mampu menepis aroganisme, egoisme, serta hidup congkak dan sombong.

Itulah makna filosofi Lampah Lantri di desa Ngargosari. Semangat teosentris yang diwujudkan dengan tradisi Lampah Lantri pada titik klimaksnya mengandung kekuatan luar bisa khususnya dalam mambangun toleransi dalam keberagamaan. Karena meski berbeda agama, semuanya didudukkan bersama, tidak saling memunggungi dan berbuat satu misi persaudaraan bersama jangka panjang. Semangat teosentris melalui ritual itu pada akhirnya akan membentuk sebuah bangunan kesejahteraan masyarakat Ngargosari dalam berbudaya, bersosial maupun beragama.

http://www.gong.tikar.or.id/?mn=wawasan&kd=59&to=view

0 komentar:

Posting Komentar