Jumat, 14 Januari 2011

Artikel Kerasnya Hidup Di Jalanan

Edit Posted by with No comments
Nama : Arum Yunita M
No : 08209241024

KERASNYA HIDUP di JALANAN

“Diduga menghindari kejaran aparat Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang melakukan razia, dua pengamen Jalanan yakni Muhamad Faisal (17) dan Rini (12) tertabrak truk bermuatan tanah di Jalan Ahmad Yani, Cempaka Putih. Jakarta Pusat. Senin (1/3) sekitar pukul 10.30. Faisal tewas seketika dengan kepala remuk, sedangkan Rini mengalami luka berat di kepala serta punggung dan langsung dilarikan ke RS Kartika.”
Ini adalah salah satu wacana sebuah Koran yang beberapa hari lalu saya baca. Miris memang katika profesi pengamen harus mengorbankan nyawa demi tercukupinya hidup. Kehidupan mereka begitu keras.
Leni adalah seorang anak yang biasa mengamen di pertigaan menuju Timoho depan UIN . Saat matahari cukup terik. Akivitas di jalan utama menuju jalan Solo masih tetap ramai seperti biasanya. Ketika saya berhenti di pertigaan jalan Affandi (Timur UNY), seorang pengamen jalanan yang berumur 10 tahun menghampiri seluruh pengguna jalan yang sedang berhenti untuk menunggu lampu hijau menyala. Leni Ia sebut namanya, sedikit menggelitik rasa hatiku untuk bertanya, awal mulanya aku ragu apakah dia mau menjawab semua keingin tahuanku.
Berpura-pura berteduh saat hujan hampir mengguyur kota Yogya, ku coba dekati pengamen kecil seusia adikku. Aku tanyakan di mana rumahnya, Ia tinggal di pinggiran sungai Gajah Wong. Dan Ia tingggal lengkap dengan Bapak serta Ibunya. Dia tidak bersekolah namun Ia mengikuti kegiatan Yayasan yang di bentuk oleh beberapa gabungan Mahasiswa, tidak begitu jelas Ia ceritakan tentang Yayasan itu. Ketika ku tanya berapa penghasilan per-hari. Ia bercerita “ Kadang Rp20.000 tu kalau lagi ramai mbak kayak Minggu, tapi rata-rata Rp 10.000,-.”
Memang hampir sama dengan buruh pabrik yang per-hari 25.000, ketika ku tanyakan untuk apa saja uang itu? Rani menjawab “sebagian untuk makan 5.000,- yang Rp 2.500 untuk pasokan yayasan,sisanya ditabung atau di kasih Ibuk.” Tutur anak yang menurutku Ia cerdas berkomunikasi, karena Leni ini menjawab dengan fasih bahasa Indonesia yang aku lontarkan. Ibunya bekerja menjadi pemulung, bapaknya menganggur di rumah.
Ketika aku Tanya mengapa kamu mengamen? “ Ya, buat bantu ibuk mbak, anak-anak pinggiran sungai banyak yang mengamen kok mbak.” Tuturnya polos. Ini sebuah hal yang perlu di analisa, mereka mengamen bukan atas dasar keinginan mereka. Mereka hanya sekedar meniru apa yang menjadi budaya mesyarakat setempatnya.
Kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan pemerintah dalam hal ini. Meskipun mereka sudah dirazia, diberi penyuluhan, dan difasilitasi Yayasan dengan harapan mereka bisa berhenti mengamen dan hidup layak seperti pada umumnya. Namun seperti kita lihat, mereka memiliki lingkungan yang didalamnya memiliki sebuah system turun temurun hidup dibawah rumah kumuh dan mengamen. Sosialisasi mereka lebih cepat dibanding usaha pemerintah menghapus anak jalanan.
Akhirnya aku mengantar Rani pulang sampai rumahnya. Benar-benar melihat lingkungannya. Bukan secara Ekonomi aku memandang, mereka berpakaian bagus, rata-rata rumahnya semi permanen dan cukup untuk berteduh. Tak jauh berbeda dengan rumah-rumah para korban gempa di bantul. Justru yang menjadi pertanyaan mengapa mereka masih bertahan dengan profesi mereka? Ibu-Ibu yang tidak menjadi pemulung memilih mengemis sambil menggendong anak yang belum tentu anaknya, mereka menyewa anak tetangganya dan membagi hasil dari mengemis.
Dipandang sagi social, kita bisa mengubah mereka dengan jalan merubah mentalnya. Bukan mengemis tapi bekarja. Bukan mengamen tapi buruh seberapaun pendapatanya. Aku sedikit Iba namun juga miris. Inilah pengalamanku pertama. Semoga artikel ini berguna. Baik buruknya tergantung dari segi mana kita memandang.
TRIMAKASIH

0 komentar:

Posting Komentar