Rabu, 15 Desember 2010

KESENIAN EBEG

Edit Posted by with No comments
Kuda lumping adalah sebuah bentuk kesenian yang tumbuh subur di tengah masyarakat Jawa, khususnya Jawa Tengah. Beberapa daerah seperti Yogyakarta, kadang menyebutnya sebagai jatilan. Ada pula yang menamainya jaran kepang.Sementara masyarakat di wilayah Kebumen dan Banyumas mengenalnya sebagai kesenian ebeg. Namun, secara garis besar, tampilan tidak terlalu jauh berbeda. Selalu ada unsur magis dalam tariannya yang atraktif. Dalam sejarahnya, ebeg merupakan tarian sakral yang sering mengiringi upacara keagamaan tertentu. Ada roh halus atau indang yang diundang serta di dalamnya.

Malam sebelum pertunjukan adalah saatnya bagi ketua rombongan dan penimbul alias pawang melakukan semedi di rumah masing-masing. Malam itu, selain memanggil indang atau roh halus, mereka juga minta izin serta perlindungan agar pertunjukan berjalan lancarTak cuma itu. Pada hari pertunjukkan,harus menyiapkan komaran alias sesaji komplet, yang variasinya mencapai lebih dari 20 macam. Baik berupa makanan matang, mentah, hewan, dedaunan, maupun benda-benda kesukaan indang. Sesaji ini untuk persembahan kepada indang, yang disantap melalui wayang atau anggota kuda lumping saat kesurupan.
Sesaji merupakan bagian dari ritual utama dalam acara penyembuhan wayang yang kerasukan indang. Konon, bila kurang komplet,sang indang akan murka. Bila demikian, maka wayang susah disembuhkan bahkan bisa mengamuk.

Sebelum pertunjukan dimulai,membuat pagar gaib,berbentuk segi empat dengan menanam benda yang sebelumnya diberi mantera. Masing-masing sudut memiliki peran sebagai penjaga, bersiaga mencegah mereka yang ingin menjahili pertunjukan. Sedangkan yang di tengah berfungsi memanggil indang.
Meski demikian sang pawang dikerjai orang. Sesaat pertunjukan, indang gagal datang. Akibatnya saat acara janturan, wayang tidak bisa mabok atau kesurupan. Setiap kelompok kesenian kuda lumping biasanya memiliki indang masing-masing. Dipelihara di sebuah tempat yang disebut panembahan

Untuk menjaga indang tetap betah, setiap malam Selasa dan Jumat Kliwon, sesaji makanan rutin disediakan oleh ketua rombongan dan sang penimbul.
Karena itu, meski rombongannya ditanggap di luar daerah, indangnya tetap dipanggil dari Panembahan Rantamsari di Desa Bumiagung. Kalau pun ada indang yang nimbrung, itu hanya sebatas tamu yang kebetulan sama-sama menyukai kesenian ebeg. Bila ada indang yang bandel, seperti tidak mau pergi padahal pertunjukan hampir usai, penimbul memiliki hak prerogatif untuk mengusir indang tamu
Pertunjukan semakin seru jika ada penonton turut kerasukan roh atau indang ini. Konon indang yang diperlukan untuk menyemarakkan pertunjukan, bisa mencapai 40 lebih. Para indang ini dibawa dari panembahan asalnya ke lokasi pertunjukan, termasuk ke luar kota, dengan dimasukkan ke dalam barongan, kendang, atau ke dalam saron.

Percaya tidak percaya, unsur magis dalam pertunjukan kesenian kuda lumping, atau yang dikenal masyarakat Banyumas sebagai ebeg ini memang menjadi bagian penting pertunjukan. Sepinya penanggap kesenian ini sekarang, tidak membuat hubungan sang penimbul dan para indang terganggu. Mereka yakin, dimanapun kesenian ini hadir, akan membius para penontonnya, untuk menyaksikan hingga sang indang meninggalkan arena pertunjukan.(RIYAN)

0 komentar:

Posting Komentar